Hukuman Slot

Penjara Seumur Hidup Itu Berapa Lama?

Ada yang menafsirkan penjara seumur hidup adalah pemberian hukuman sesuai dengan usia terpidana saat divonis atau beranggapan bahwa penjara seumur hidup sesuai umur terpidana saat divonis. Contohnya terpidana A yang saat itu berusia 35 tahun dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup, si A kemudian menjalani hukuman penjara selama 35 tahun.

Ternyata, penafsiran di atas adalah penafsiran yang salah karena sudah melanggar Pasal 12 ayat (4) KUHP bahwa pidana penjara tidak boleh melebihi 20 tahun. Bagaimana pun hukum penjara seumur hidup artinya penjara sepanjang si terpidana masih hidup, dan hukumannya baru akan berakhir ketika ia meninggal dunia.

Dari Wikikamus bahasa Indonesia, kamus bebas

Belum ada komentar. Anda dapat menjadi yang pertama

sebagian atau seluruh definisi yang termuat pada halaman ini diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia

Hukuman mati adalah salah satu hukum yang diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2014[1]. Hukuman ini berlaku untuk kasus Pembunuhan terencana, korupsi, terorisme, Narkoba, dan perdagangan obat-obatan terlarang[2]. Eksekusi Hukuman mati tersebut dilakukan oleh regu tembak Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2010 yang berasal dari Korps Brigade Mobil atau Brimob, terutama karena kejahatan terkait pemakai dan pengedar Narkoba serta Korupsi[1][3].

Hukuman mati akan dilaksanakan setelah permohonan grasi tersangka ditolak oleh pengadilan, dan juga adanya pertimbangan grasi oleh presiden. Di Republik Indonesia sejak Desember tahun 2014 dilaporkan bahwa Presiden Indonesia tidak memberikan grasi kepada yang telah dijatuhi hukuman mati dan hukuman seumur hidup karena kejahatan.

Tersangka dan anggota keluarga dari tersangka akan diberitahukan mengenai hukuman mati dalam waktu 72 jam sebelum eksekusi.[4] Biasanya, pelaksanaan hukuman mati dilakukan di Nusakambangan.[4] Para terpidana akan dibangunkan di tengah malam dan dibawa ke lokasi yang jauh (dan dirahasiakan) untuk dilakukan eksekusi oleh regu tembak, metode ini tidak diubah sejak tahun 1964.[5][6]

Terpidana akan ditutup matanya lalu diposisikan di daerah berumput, juga diberikan pilihan kepada Terpidana untuk duduk atau berdiri.[5] Tentara menembak jantung Terpidana dari jarak 5 hingga 10 meter, hanya 3 senjata yang berisi perluru dan sisanya tidak sama sekali.[5] Jika Terpidana tidak tewas, maka diizinkan untuk menembak Terpidana di kepalanya dengan izin dari komandan regu tembak.[7]

Eksekusi hukuman mati pertama di Indonesia yang tercatat oleh data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dijatuhi kepada Oesin, yang merupakan pedagang kambing dan tukang jagal di Kota Mojokerto. Ia dieksekusi mati karena melakukan pembunuhan terhadap enam rekan bisnisnya pada tahun 1964. Oesin dieksekusi mati pada 14 September 1979.[8] Berdasarkan data dari Institute for Criminal Justice Reform atau disingkat ICJR menyebutkan bahwa jumlah kasus hukuman mati hingga Oktober 2020 mencapai 173 kasus, dengan total 210 Terrpidana. Data ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, di bulan Oktober 2018 hingga bulan Oktober 2019 tercatat 126 kasus, dengan total 135 jumlah Terpidana. Kasus-kasus tersebut dibagi dalam beberapa rincian yaitu:

1) Kasus narkotika dengan jumlah kasus 149 (86%);

2) Kasus pembunuhan yang direncanakan 23 kasus (13%); dan

3) Kasus terorisme memiliki jumlah kasus sebanyak 1 kasus (1%).[9]

Di Indonesia untuk menentukan sanksi terhadap sebuah kejahatan dan pelanggaran diatur dalam hukum pidana. Tujuan dari hukum pidana tersebut yaitu agar seseorang yang berbuat kejahatan mendapat hukuman yang adil, dan berharap agar pelaku kejahatan tersebut tidak mengulangi kejahatannya kembali.[10] Salah satu hukum pidana juga mengatur menganai tentang hukuman mati di dalamnya. Hukuman mati termasuk ke dalam hukuman pokok, apabila dilihat dari jenis hukum positif di Indonesia. Jenis-jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati di Indonesia di antaranya:

Tahun 1948, penangkapan Amir Sjarifuddin membuah gaduh dunia politik di Indonesia. Amir Sjarifuddin merupakan tokoh politik sekaligus mantan menteri pertahanan dan perdana menteri. Dia ditangkap dengan alasan terlibat dalam Peristiwa Madiun, yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di bulan Desember, Amir Syarifuddin dieksekusi mati di Ngalihan, Solo. Tahun 1946, Tan Malaka ditangkap karena mengikuti pertemuan dengan pimpinan Pesatuan Perjuangan. Ketika Peristiwa Madiun terjadi, Tan Malaka dibebaskan. Bulan Februari, 1949 Tan Malaka menghilang. Lima puluh tahun dari kejadian tersebut, seorang peneliti bernama Harry Poeze mengungkapkan bahwa Tan Malaka dibunuh oleh seorang Letnan Dua bernana Sukutjo atas inisiatif pribadi.[4]

Dua kejadian di atas menyimpulkan pada periode ini ada beberapa eksekusi mati yang dipraktikkan di Indonesia tanpa persidangan. Pemerintah pada saat itu belum solid, ketika pengambilan keputusan. Hasil penyelidikan yang panjang, melahirkan kesimpulan bahwa para eksekutor hukuman mati melakukannya atas inisiatif pribadi, dan didukung oleh kepentingan politik. Pada tahun 1973 – 1981, pemerintahan dipimpin oleh Soeharto. Saat itu Indonesia sedang fokus dalam pengembangan perekonomian. Namun, pada saat itu tingkat kriminalitas semakin tinggi. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik yaitu kasus Sengkon dan Karta, pada tahun 1974. Kasus ini bermula dari perampokan dan pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti di Desa Bojongsari, Bekasi. Polisi menetapkan Karta dan Sengkon sebagai tersangka. Mereka memang tidak mengakui bahwa mereka yang telah melakukan perampokan dan pembunuhan tersebut. Namun, setelah polisi memberi tekanan terhadap mereka, akhirnya mereka mau untuk menandatangani berita acara penangkapan tersebut. Hal mengejutkan terjadi, ada seseorang yang bernama Genul yang mengaku telah membunuh Sulaiman dan Siti. Akhirnya, Genul dijatuhi hukuman 12 tahun kurungan penjara. Hal yang menjadi aneh adalah, meskipun pelaku sebenarnya sudah ditangkap, Sengkon dan Karta tidak langsung dibebaskan dan tetap menjalankan kurungan penjara. Pada periode ini, pemerintah belum mampu menghadapi kasus kriminalitas yang terjadi. Oleh karena itu untuk menekan angka kriminalitas pemerintah membuat jalan pintas dengan cara Hukuman mati tanpa pengadilan.[4]

Kasus penembakan misterius (Petrus) dilakukan oleh aparat keamanan ditahun 1982-1985. Eksekusi mati ini dilakukan kepada mereka yang dituduh pelaku kriminal. Usaha ini menimbulkan beberapa ketidakjelasan dalam penentuan indetitas kriminal tersebut. Selain itu, ada beberapa yang menyebabkan kesalahan eksekusi. Pada tahun 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Ad Hoc untuk melakukan penyelidikan untuk kasus penembakan misterius (Petrus) ini. Hasilnya, kegiatan Petrus ini tergolong dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia tingkat berat.[4]

Indonesia mengakhiri moratorium hukuman mati yang berlangsung selama 4 tahun, dengan dilaksanakannya hukuman mati kepada Adami Wilson (kewarganegaraan Malawi) pada 14 Maret 2013.[19]

Daftar eksekusi di Indonesia selama dan Sejarah Indonesia (1998-sekarang):[20][21]

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tercatat sering kali melakukan protes atas praktik hukuman mati di Indonesia. Juru Bicara Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Rupert Colville menyampaikan kekecewaannya saat Indonesia melaksanakan eksekusi mati pada tanggal 29 April 2015 karena "Indonesia tegas memberlakukan eksekusi mati bagi pelaku tindak kejahatan narkoba, di sisi lain RI turut mengajukan permohonan agar warganya yang terancam hukuman mati bisa diselamatkan".[24] Menjelang rencana pemerintah untuk melakukan eksekusi mati pada tanggal 29 Juli 2016, eksekusi ketiga di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo,[25] Kepala HAM PBB Zeid Ra'ad al-Hussein meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan hukuman mati terhadap terpidana kasus perdagangan narkotika karena "meningkatnya pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sangat mengkhawatirkan" dan "tidak adil bagi hak asasi manusia".[26]

Sehubungan dengan rencana eksekusi tanggal 29 Juli 2016, Uni Eropa dalam keterangan tertulisnya juga meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan eksekusi mati terhadap 14 terpidana yang akan dieksekusi dan meminta Indonesia untuk bergabung dengan sekitar 140 negara lain yang telah sepenuhnya menghapuskan praktik eksekusi mati. Menurut keterangan tertulis tersebut, "Hukuman mati merupakan pidana yang kejam dan tidak manusiawi, yang tidak menimbulkan efek jera terhadap tindak kejahatan, serta merendahkan martabat manusia."[27] Rafendi Djamin, Direktur Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik, menyampaikan bahwa, "Jokowi tidak seharusnya menjadi algojo terproduktif dalam sejarah Indonesia belakangan ini."[25] Sementara Ken Matahari, Staf Amnesty International di Sydney, menyatakan argumennya untuk mendukung penghapusan mati di Indonesia sembari membandingkan Singapura yang masih menerapkan hukuman mati dengan Hongkong yang telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1983. Ia menyampaikan penelitian dari Universitas Hawaii tahun 2010 yang menyatakan bahwa kedua negara tersebut, yang sangat memiliki kemiripan dalam banyak hal, memiliki tingkat pembunuhan yang sangat serupa.[2]

Praktik hukuman mati di Indonesia juga sering mendapat kecaman dari negara-negara lain, khususnya negara-negara di Eropa.[28] Beberapa negara yang pernah menentang praktik eksekusi mati di Indonesia misalnya Belanda,[28] Inggris,[29] Australia, dan Brasil.[30] Terkait rencana eksekusi mati yang akan dilaksanakan pemerintah pada tanggal 29 Juli 2016, Inggris menyampaikan kekecewaan tambahan karena menerima laporan yang menyatakan bahwa empat terpidana yang akan dieksekusi sebelumnya telah "disiksa dan mengalami kelalaian peradilan".[29]

Beragam tokoh politik maupun praktisi masyarakat menyuarakan ketidaksetujuannya atas praktik hukuman mati di Indonesia. Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie dengan tegas menyatakan penolakannya atas praktik hukuman mati di Indonesia. Katanya, "Saya berkeyakinan bahwa orang lahir, ketemu jodohnya, meninggal, ditentukan oleh Allah. Jadi saya tidak mau, tidak berhak menentukan (hukuman mati)."[31] Soedomo, Menkopolkam RI ke-3, mendukung dihapuskannya hukuman mati karena tidak didasarkan pada Pancasila.[32] Todung Mulya Lubis berpendapat kalau "belum ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa hukuman mati memberikan efek jera".[31] Muhammad Hafiz, Pejabat Direktur Eksekutif Human Rights Working Group di Jakarta, menganggap bahwa eksekusi mati tanggal 29 Juli 2016 merupakan "bukti kemunduran rezim ini dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM)". Padahal, menurut Tri Agung Kristanto dari Kompas, Indonesia sangat menghargai HAM sejak reformasi tahun 1998, yang salah satunya ditandai dengan "memasukkan ketentuan terkait HAM" pada Pasal 28 UUD 1945.[32]

Sejumlah akademisi dari berbagai disiplin ilmu di dalam negeri tercatat mengemukakan penolakan secara terbuka terhadap eksekusi mati di Indonesia. Beberapa dari antara mereka misalnya Profesor Sulistyowati Irianto, Antonius Cahyadi dan Frans Supiarso dari Universitas Indonesia, Beni Juliawan dari Universitas Sanata Dharma, Robertus Robet dari Universitas Negeri Jakarta, serta Ahmad Sofian dari Universitas Bina Nusantara. Secara umum, para akademisi tersebut menyimpulkan kalau praktik hukuman mati tidak efektif untuk mengatasi kejahatan dan tidak memberikan "efek jera" yang diharapkan. Profesor Sulistyowati mengajak semua pihak untuk lebih memikirkan hak seseorang untuk hidup,[33] dan Frans berharap agar pemerintah "menempatkan belas kasih dan pengampunan di atas segalanya".[34]

Antonius dan Ahmad menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuman mati merupakan sarana penyaluran "balas dendam" oleh negara tanpa menghasilkan dampak apapun pada korban kejahatan.[35][36] Dan karenanya, menurut Profesor Sulistyowati, praktik ini "mewariskan budaya balas dendam pada generasi penerus kita".[33] Ahmad juga menyampaikan kalau praktik ini telah dimanfaatkan oleh mereka yang memang ingin dihukum mati karena ideologi yang mereka anut.[35] Ahmad, Antonius, dan Robet, menegaskan kalau pelaksanaan hukuman mati lebih mengakomodir kepentingan politis daripada kepentingan korban dan hukum,[35][36] bahkan "digunakan sebagai instrumen sosial dan politik untuk memamerkan kekuasaan".[37] Bagi Robet dan Frans, praktik hukuman mati merupakan salah satu praktik dari zaman "purba" yang diterapkan oleh negara di zaman modern.[34][36]

Robet dan Beni berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia hanya didasarkan pada hasil survei oleh beberapa lembaga,[34] yang hasilnya bahkan "tidak kredibel".[33] Beni mengklaim bahwa survei itu hanya dilakukan di 17 provinsi tetapi laporannya menyebutkan 33 provinsi, sehingga ia merasakan adanya kejanggalan.[33]

Tokoh-tokoh dari komunitas keagamaan turut menyatakan penolakannya atas praktik hukuman mati di Indonesia. Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Jimly Asshiddiqie menyampaikan agar praktik hukuman mati di Indonesia kelak dihapuskan, karena ia memandangnya tidak sesuai dengan sila pertama dan kedua Pancasila serta menghimbau "agar umat Islam di Indonesia tidak menafsirkan tradisi hukum pidana di Alquran dan hadis secara harfiah".[31] Ketua Syarikat Bantuan Hukum Komunitas Advokat Syariah Irfan Fahmi mengatakan, "Sikap seorang Muslim menolak perbudakan mestinya dibarengi pula dengan menolak hukuman mati. Karena hak hidup dan hak tidak diperbudak termasuk kualifikasi hak asasi manusia (HAM)."[38] Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia sekaligus Uskup Keuskupan Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo menegaskan penolakannya atas praktik hukuman mati karena terdapat potensi kesalahan dalam sistem hukum yang dibuat oleh manusia. Menurutnya, "Tidak ada sistem hukum yang sempurna. Dan kita semua tahu peradilan di manapun bisa sesat."[39] Hal senada disampaikan oleh Romo Franz Magnis Suseno, seorang budayawan dan rohaniwan Katolik, yang menyatakan bahwa "sistem yudisial kita belum terjamin kejujurannya. Jika seseorang mati dengan putusan lembaga yang belum terjamin, bagaimana itu[?]" Ia mengklaim bahwa pelaksanaan hukuman mati di Tiongkok tidak memberikan efek jera.[40] s

Baik hukuman penjara maupun hukuman kurungan, sama-sama berupa penahanan kemerdekaan seseorang karena melakukan tindak pidana.

Bentuk hukuman pidana penjara dan kurungan merupakan pemindahan dengan menahan kebebasan seseorang, karena telah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 22 KUHP.

Hukuman pidana penjara dan kurungan merupakan pidana pokok yang dapat dijatuhkan hakim selain pidana mati, pidana denda, dan pidana tutupan. Hukuman penjara dan kurungan adalah suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim melalui sebuah putusan yang diberikan kepada seorang yang terbukti bersalah di persidangan.

Pidana penjara merupakan suatu pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan mengurung orang tersebut di dalam lembaga pemasyarakatan.

Hal itu dilakukan agar tindakan atau perbuatan seorang yang akan dihukum pidana penjara dikaitkan dengan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

Sementara itu, pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan kepada orang dewasa dan merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa pembatasan kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang yang melakukan pelanggaran.

Dalam Pasal 12 KUHP,  hukuman pidana penjara dapat diberikan seumur hidup atau selama waktu tertentu, dimana waktu paling singkatnya satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

Pidana Penjara Seumur Hidup

Pidana penjara seumur hidup adalah satu dari dua variasi hukuman penjara yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) KUHP yang selengkapnya berbunyi:

a. Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

Kemudian merujuk Pasal 12 ayat (4) KUHP menyebutkan:

b. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi 20 tahun.

Dari bunyi Pasal 12 ayat (1) KUHP di atas, dapat disimpulkan bahwa pidana penjara seumur hidup artinya pidana penjara selama terpidana masih hidup hingga meninggal.  Nah, dari aturan ini sekaligus menolak penafsiran yang selama ini ternyata salah bahwa hukuman penjara seumur hidup adalah hukuman penjara yang dijalani selama usia terpidana pada saat vonis dijatuhkan.

Syarat dan tata cara pengaduan di Lingkungan Lembaga Peradilan

Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan untuk memudahkan Anda mengakses informasi di Pengadilan

Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan

tirto.id - Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Pembunuhan berencana Ferdy Sambo dilakukan bersama-sama dengan Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo, dan Kuat Ma’ruf.

Setelah melewati proses persidangan, mereka dijatuhi tuntutan hukuman yakni penjara seumur hidup bagi Ferdy Sambo, 12 tahun penjara bagi Bharada E dan 8 tahun kurungan bagi Putri, Ricky dan Kuat. Namun, persepsi terkait berat-ringannya tuntutan-tuntutan tersebut menimbulkan pro dan kontra.

Masih terkait tuntutan tersebut, muncul klaim unggahan akun Facebook bernama "Sang Politisi" (tautan) pada 28 Januari lalu. Unggahan tersebut disebarkan dalam bentuk video berdurasi 16 menit 7 detik, disertai judul dan takarir “KEJAGUNG MINTA MAAF. DI NILAI KEL!RU BERIKAN TUNTUT4N. AKHIRNYA UBAH HVKUM4N FERDY 5AMBO.”

Pada menit-menit awal video sang narator menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mengubah hukuman Ferdy Sambo dari sebelumnya penjara seumur hidup menjadi hukuman mati. Lalu narator membacakan pernyataan Asep Iwan Iriawan, yang disebut sebagai pakar hukum pidana.

“Asep menyebut Jaksa Agung Muda ternyata salah menilai fakta dan tak memperhatikan latar belakang di antara Ricky Rizal dan Bharada E,” begitu cuplikan narasi video yang dikatakan bersumber dari tayangan Metro TV tertanggal 23 Januari 2023.

PERIKSA FAKTA Benarkah Kejagung Ubah Hukuman Ferdy Sambo.

Unggahan ini memperoleh 2.300 komentar dan telah disukai 15 ribu pengguna Facebook lain. Videonya sendiri sudah diputar 833 ribu kali hingga Selasa (31/1/2023).

Lantas, benarkah Kejagung ubah hukuman Ferdy Sambo? Bagaimana konteks pernyataan Asep Iwan Iriawan yang disebut video berasal dari tayangan Metro TV?

Tim riset Tirto mula-mula melakukan penelusuran Google untuk mengecek pernyataan Kejagung. Hasilnya kami tak mendapati sumber kredibel yang mengungkap klaim seperti dalam video. Sebaliknya, Kejagung RI meminta publik menghormati tuntutan jaksa penuntut umum terhadap lima terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Yosua.

Seperti dinukil dari laporan Tirto, Kamis (19/1/2023), Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum Kejaksaan Agung, Fadil Zumhana menjamin jaksa penuntut umum dalam perkara ini tidak asal dalam menyampaikan tuntutannya.

“Dalam menentukan tinggi rendah tuntutan pidana, ada aturannya. Itu yang saya pakai, saya mengendalikan itu. Bukan asal-asalan,” ucap Fadil di kantor Kejaksaan Agung, Kamis (19/1/2023).

Fadil klaim proses penuntutan dilakukan secara arif dan bijaksana, bahkan jaksa mendengar, melihat, mempertimbangkan semua hal terkait proses penuntutan perkara, serta memperhatikan parameter.

“Tidak ada polemik. Bagi saya kita [publik dan jaksa] beda pandang,” kata Fadil.

Jika pihak korban menyatakan tuntutan tersebut kurang tinggi, maka ia berempati. Sementara bila terdakwa merasa tuntutan terlalu tinggi, itu juga hak terdakwa untuk berpendapat. Fadil mengingatkan bahwa rangkaian persidangan masih berjalan, bahkan masih ada tahapan-tahapan lain seperti pleidoi, replik, duplik, dan putusan.

Selanjutnya, Tirto mencari sumber asli tayangan Metro TV yang disebutkan narator video. Siaran itu diunggah di kanal YouTube resmi Metro TV dengan judul “Pakar Hukum: Kalau Hakimnya Saya, Sambo Pasti Dihukum Mati.”

Dalam program "Selamat Pagi Indonesia" yang ditayangkan Metro TV tersebut, Asep Iwan Iriawan sebagai Pakar Hukum Pidana ditanya seberapa jauh hasil tuntutan terdakwa yang dituntut penjara seumur hidup bisa diperingan dari hasil pledoi atau nota pembelaan. Asep menyatakan, tuntutan tidak berpengaruh terhadap vonis. Menurutnya, dasar putusan adalah dakwaan.

“Jadi silakan jaksa menuntut setinggi mungkin, silakan penasihat hukum meminta bebas atau lepas. Tapi semua berujung dengan putusan, jadi nggak ngaruh itu tuntutan. Apalagi kalau tuntutannya ngawur,” katanya.

Asep beranggapan bahwa tuntutan 12 tahun penjara terhadap Bharada E tidak sesuai, sebab tembakan yang ia lakukan merupakan perintah dari Sambo dan Bharada E kebingungan tak ada pilihan lain.

Beban alat itu seharusnya kepada yang memerintahkan, dengan demikian Ferdy Sambo bisa mendapatkan hukuman yang maksimal atau hukuman mati. Hukuman mati dalam konteks ini merupakan pendapat Asep, bukan keputusan Kejagung seperti dalam klaim video.

Tuntutan-tuntutan yang sebelumnya disebutkan memang disanggah oleh para terdakwa lewat sidang pembacaan pleidoi. Secara umum, pleidoi para terdakwa memuat bantahan atas kesimpulan jaksa yang tertuang dalam materi tuntutan.

Namun dalam sidang replik atau respons balasan atas jawaban tergugat Ferdy Sambo yang digelar 27 Januari 2023, Jaksa memohon kepada Majelis Hakim untuk menolak seluruh pleidoi penasihat hukum Sambo dan menjatuhkan putusan sebagaimana diktum tuntutan.

Begitu pula terkait tuntutan 12 tahun bui untuk Bharada E yang dibahas dalam sidang replik Senin, (30/1/2023). Dilansir Kompas TV, JPU mengatakan tinggi rendahnya tuntutan pada Eliezer telah ditentukan pada parameter hukum yang jelas dan tanpa tendensi apapun. JPU mempertimbangkan peran Eliezer sebagai eksekutor yang menembak sebanyak 3-4 kali.

Ferdy Sambo, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf akan menghadapi sidang duplik pada 31 Januari 2023. Duplik sendiri merupakan tanggapan pihak terdakwa atas replik jaksa. Dengan memasuki tahap ini, maka proses persidangan pembunuhan berencana Brigadir J selangkah lagi menuju vonis.

Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, konteks hukuman mati yang sebenarnya dibicarakan merupakan pendapat Asep Iwan Iriawan sebagai Pakar Hukum Pidana, alih-alih disampaikan Kejagung RI.

Jaksa Penuntut Umum sendiri telah menolak nota pembelaan penasihat hukum Sambo di sidang replik, pun tidak ada laporan bahwa Jaksa mengubah tuntutan terhadap Sambo dengan hukuman yang lebih berat. Ferdy Sambo, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf akan menghadapi sidang duplik atau menanggapi replik jaksa pada 31 Januari 2023, setelah itu baru memasuki sidang putusan oleh Majelis Hakim.

Dengan demikian, narasi tentang Kejagung mengubah hukuman Ferdy Sambo menjadi hukuman mati bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).

Hakim di persidangan pembunuhan berencana Brigadir J meyakini bahwa terdakwa Ferdy Sambo menggunakan sarung tangan hitam saat menembak korban.

Meski tertutup masker, mata Ferdy Sambo cukup memperlihatkan ekspresi wajahnya.

Setelah mendengar sidang tuntutan terhadap Ferdy Sambo, besok giliran Putri Candrawathi dan Bharada Eliezer yang akan mendengar sidang tuntutan terdakwa atas kasus pembunuhan Brigadir J.

Punishment / Prisons: (Hukuman / Penjara)

Indonesiabaik.id - Arti hukuman penjara seumur hidup telah dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang termuat dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 KUHP.